Mendung Di Atas Mandaraka (1)

Bagi para muda atau bukan “suku wayang”, terkadang sulit untuk mencerna pertunjukan wayang karena keterbatasan pengenalan mengenai bahasa yang dipergunakan dalam pegelaran wayang. Untuk itu kami mencoba untuk mengenalkan wayang dengan segala aspeknya, baik alur cerita dengan banyak tokoh didalamya beserta silisilah dengan bahasa Indonesia. Cerita wayang yang demikian kompleks dengan segala macam kejadian pertentangan, konflik, intrik yang tentunya dibumbui dengan romantisme disana sini memang menjadi kendala bagi para muda atau bukan “suku wayang” tadi yang tadinya ingin mengetahui tentang wayang tetapi banyak yang tidak lagi berminat karena terbentur oleh masalah komunikasi, dalam hal ini bahasa. Cerita tentang kepahlawanan dari pewayangan akan kami beberkan dengan bahasa yang sebisanya mudah, sehingga gampang dimengerti.

Satu hal lagi, cerita ini kami rangkum dan kami ceritakan kembali dengan bebas, dari pagelaran Ki Nartosabdo. Kami anggap dalang ini yang dikenal piawai menceritakan detail alur cerita dan yang kami anggap runtut dan benar menurut pewayangan Indonesia. Cerita dari Ki Narto ini, juga banyak ditingkahi oleh dialog dialog dari para tokohnya yang kadang liku likunya tak terduga. Namun demikian, alih bahasa dari sastra pedalangan Ki Narto yang demikian tinggi dan indah, tidaklah akan dapat kami uraikan dalam bahasa Indonesia dengan utuh. Mohon kritiknya atas kekurangan kami dalam menyampaikan cerita ini karena kekurangannya itu.

Kami sampaikan link pagelarannya pada akhir setiap akhir seri tulisan agar pembaca semua dapat mempelajari pagelaran seutuhnya.

Ucapan Terimakasih kami haturkan kepada Radio Mutiara Bandung yang telah mengijinkan kami mendigitalisasi kaset koleksinya, dan menjadikannya referensi tulisan yang mudah-mudahan berguna untuk penikmat wayang semua.

Selamat mengikuti.

==========================

1.   Jalan Cinta Banuwati Berawal

Cinta terlarang sepanjang hidup. Cinta lewat belakang dijalani Arjuna dengan Banuwati hampir sepanjang kedewasaan keduanya. Perselingkuhan cinta keduanya bukanlah sebuah rahasia, tetapi keniscayaan ini telah menjadi rahasia umum. Bahkan suami Banuwati-pun sebenarnya mengetahuinya secara terang benderang. Tetapi Duryudana, sang suami, tak berdaya bertekuk lutut di sudut kerling mata manja Banuwati. Berkali kali Banuwati kepergok, namun keduanya tetap bersatu erat dalam buaian cinta pertama. Kata orang, selingkuh itu indah. Kenyataan ini benar benar tergambar di kehidupan cinta antara Arjuna dan Banuwati. Mereka berdua saling membutuhkan dan Banuwati telah menyatakan janji, yang apakah ini boleh dikatakan suci?. Ia sanggup menjadi mata-mata bagi kejayaan Pandawa dalam perseteruannya dengan saudara sedarah, Kurawa. Janji yang ada atau tidak adapun akan dibayar dengan kemesraan Arjuna yang diperoleh sepanjang hayatnya hingga Aswatama mengakhiri hidup Banuwati usai Baratayuda.

Ketika itu di petamanan Mandaraka. Tidak ada yang menyuruhpun, sebenarnya Banuwati akan dengan gembira mengakrabi Permadi, Arjuna muda. Pemuda yang sangat tampan itu telah memikat hatinya pada pandangan pertama. Apalagi ketika ayahndanya menyuruh kakak perempuannya, Surtikanti dan dirinya untuk mengenal lebih dekat saudara misan yang begitu membuat heboh sidang yang ketika itu sedang berlangsung. Ayahnda memanggil keduanya seusai sidang agung, ketika putri tertua dari Prabu Salya telah sebulan hilang dari kamarnya.

Memang demikian, sejak Prabu Salya kehilangan putri pertamanya, Herawati atau Erawati, maka telah disiarkan kabar lewat selebaran yang ditempel pada kayu kayu besar dan tempat ramai, bahwa siapapun tidak memandang pangkat dan derajat, bila yang menemukan dan mengantarkannya kembali ke Mandaraka adalah seorang wanita, ia akan diangkat menjadi saudara. Dan bila yang menemukan adalah seorang pria, maka akan dinikahkan dengan Dewi Herawati.

Maka ketika sidang sedang berlangsung hari itu, Prabu Salya yang dihadap oleh putra pangeran pati, Raden Rukmarata, dan dibelakangnya duduk takzim Patih Tuhayata, maka heninglah balairung terbawa oleh kesedihan hati Prabu Salya. Dan kesunyian itu tak hendak terusik oleh para yang hadir. Mereka mahfum dengan apa yang dirasakan oleh rajanya.

Sekian lama waktu berlalu ketika Prabu Salya akhirnya memangil nama putra pangeran pati, Raden Rukmarata.
“Rukmarata putraku . . . . “

“Terimakasih ramanda, bahwa ramanda telah memanggil putra ramanda. Gerangan apakah yang hendak rama prabu hendak sampaikan?”  Geragapan Rukmarata yang didalam benaknya juga sedang berputar-putar kenangan mengenai kakak perempuannya, menjawab.

“Hari ini walaupun sebenarnya aku sedang dalam pasamuan agung, tidaklah aku hendak membicarakan tata negara, tetapi saat ini kamu pasti tahu, ramandamu sedang dalam kesusahan. Pikiran ini selalu saja tertuju kepada hilangnya kakakmu Herawati. Sudah terhitung sampai saat ini waktu hilangnya kakakmu itu sudah mencapai satu bulan lamanya.”  Sejenak Prabu Salya menelan ludahnya membasahi tenggorokannya yang terasa serak.

“Hilangnya kakakmu itu bagaikan tercabut oleh Dewa. Waktu sore itu kakakmu masih menghadap aku, tetapi ketika keesokan paginya, kakakmu sudah lenyap dari kamarnya. Heh putraku Rukmarata.”
“Daulat ramanda,”  Rukmarata menjawab dengan sembah takzimnya.

“Kenapa sampai saat ini belum lagi ada titik terang dimana kakamu Erawati berada? Atau adakah titik terang siapakah yang telah melarikannya. Bila hilangnya kakakmu ini berlarut-larut hingga misalnya dua bulan, betapa akan menjadi teramat menyusahkan ibumu. Dari kemarin sore hingga pagi tadi ketika aku hendak menyelenggarakan sidang, ibumu selalu sedih menangis. Air matanya selalu jatuh berlinangan, dan tingkah lakunya selalu serba salah. Semua cara sudah aku lakukan, semuanya bertujuan agar ibumu terhibur. Tetapi usahaku itu tidak menjadikan ibumu pulih. Menurutku, satu cara agar ibumu akan kembali gembira, bila Erawati ditemukan. Adakah ada cara atau usaha menurutmu, bagaimana agar kakamu segera dapat ditemukan ?”  Tanya Salya kepada putranya

“Duh rama, mohon maaf sebesar-besarnya bahwa putra paduka telah berbuat tanpa mendapat perintah terlebih dulu. Sekitar tujuh hari yang lalu, hamba telah mendaki gunung-gunung dan masuk ke dalam hutan. Menyusuri tepian pantai dan merambah ke desa demi desa. Semua yang hamba lakukan adalah mencari titik terang, dimanakah adanya kakanda Herawati dan sekalian mencari tahu siapakah yang melarikannya”.Sejenak Rukmarata berhenti untuk membetulkan letak duduknya. Kemudian sambungnya “Hamba juga telah bertanya kesana-kemari kepada para Pandita yang berpenglihatan terang dan berperasaan tajam. Semua itu adalah usaha putranda, supaya hamba diberi titik terang dimanakah dapat diketemukan kanda Herawati. Tetapi ramanda, semua yang hamba tanyai selalu menjawab hal yang sama. Semua telah menguncupkan tangan menekuk dengkul, pasrah hidup tidak dapat menunjukkan apa yang hamba minta. Duh ramanda, hingga saat ini tidak ada sepercik titk terang yang dapat dijadikan pedoman dimana adanya kanda Herawati. Putranda hanya dapat berharap kepada Dewata agar kesulitan ini dapat diatasi.”  Demikian Rukmarata telah menjelaskan semua usaha yang telah ia lakukan.

“Putraku Rukmarata, seingatku selama aku dititahkan di madyapada ini, tidak sekalipun aku membuat orang lain menderita. Tetapi tanpa aku ketahui musababnya aku telah tersandung perstiwa yang membawa penderitaan semacam ini.”  Setelah berdiam diri sebentar, pertanyaan sekarang beralih kepada paranpara kepatihan, Patih Tuhayata

“Patih Tuhayata, apa yang bisa kamu berbuat untuk meringankan kesulitan ini, patih?”

“Duh Gusti Prabu, walaupun tidak sedikit prajurit sandi telah disebar untuk mengetahui dimana Gusti Putri Erawati berada, namun sampai saat ini tidak satupun laporan yang masuk, yang mengatakan telah mendapat titik terang dimana Gusti Putri Erawati telah berada. Hamba hanya dapat meminta seribu maaf karena kali ini hamba tidak dapat berbuat labih banyak lagi.”  Jawab Tuhayata dengan disertai kepasrahan.

2. Yang Bersedia Menanggung Beban.

Sejenak sidang agung itu menjadi sunyi. Tak ada lagi yang dapat dijadikan bahan pembicaraan. Tetapi tiba tiba terjadi gaduh diluar sidang. Bertanya Prabu Salya kepada Patih Tuhayata.

“Patih Tuhayata, lihatlah keluar, ada apakah gerangan sehingga keadaan diluar sidang menjadi begitu gaduh!”
Keluar sejenak Patih Tuhayata melihat keadaan diluar. Setelah mengetahui apa yang terjadi, kemudian ia naik kembali ke balairung melaporkan peristiwa yang terjadi di pisowanan diluar sana.

“Gusti, tidak ada kuda yang lepas dari istal, ataupun gajah yang keluar dari kandang atau pula harimau yang lepas dari kerangkengnya. Yang membuat gaduh diluar sidang adalah datangnya Patih Sangkuni dari Astina. Beliau ada diluar menanti ijin dari paduka untuk menghadap.”

“Hmmm, ada keperluan apakah Sangkuni datang ke Mandaraka ini. Patih, keluarlah dari sidang, beritahu Sangkuni untuk menghadap aku.”  Prabu Salya memerintahkan kembali kepada Patih Tuhayata untuk memberikan titah Raja, bahwa Patih Sengkuni sudah diperkenankan naik menghadap.

“Titah paduka akan hamba laksanakan.”  Takzim menyembah kemudian hendak diberitahunya Patih Sengkuni untuk naik pendapa.

Begitulah Patih dari Astina itu telah diperintahkan untuk naik ke balairung. Dialah Patih Sangkuni yang bernama lainHarya Suman, Suwelaputra atau juga disebut Tri Gantalpati. Sesudah beberapa saat ia menunggu, segera ia dihadapkan kepada Sang Prabu Salya. Patih Sangkuni yang datang ke Mandaraka atas utusan dari kemenakannya Raja Astina Prabu Jakapitana atau Prabu Kurupati. berjalan mengendap. Merunduk gerak Patih Sangkuni ketika menghadap Prabu Salya, seraya menyembah berulang ulang dengan sikap takzim, ia duduk dihadapan Prabu Salya.

“Heh Patih Sangkuni, baik-baik sajakah kedatanganmu di Mandaraka?”

“Atas pangestu Paduka Sang Prabu, kami tak menemui halangan apapun. Sembah hamba kami haturkan kepada paduka Sang Prabu.”

Demikian juga Putra Prabu Salya, Rukmarata menghaturkan salam keselamatan kepada patih Astina tersebut. Setelah itu Prabu Salya segera ingin mengetahui gerangan apakah yang menjadi keperluan Patih Astina itu datang ke Mandaraka.

“Ada keperluan apakah Patih Sangkuni, kelihatan ada sesuatu yang penting yang hendak kamu sampaikan. Sukur apabila kedatanganmu sekedar tilik saja, tetapi apabila kamu diperintah oleh putramu Prabu Kurupati, hendaknya bicaralah yang jelas, agar aku dapat mendengarkan maksudmu dengan sebaik-baiknya.”

Setelah memperbaiki posisi duduknya dan beringsut maju sejengkal, Patih Sangkuni memulai cerita yang dialami ketika para Kurawa juga ikut melakukan pencarian Putri Mandaraka,

“Baiklah. Kenapa hamba berani datang ke hadapan Paduka tanpa diundang, sebab hamba diperintah oleh kemenakan Paduka Prabu Kurupati. Beliau telah tertarik oleh lembar kabar yang telah terpasang di pohon-pohon besar. Disitu diberitakan bahwa putra paduka yang pertama telah sebulan ini hilang, diduga dilarikan orang. Didalam selebaran tersebut juga diberitahukan, bahwa siapapun yang bisa mengembalikan putri Paduka Dyah Herawati, apabila ia adalah seorang wanita, akan diaku menjadi saudaranya. Dan apabila seorang pria yang dapat mengembalikan, dia akan dinikahkan dengan Dewi Herawati. 

Dari itulah Putra kemenakan Paduka Prabu Jaka Pitana, melakukan pencarian terhadap Dewi Herawati. Pencarian telah dilakukan tanpa mengingat waktu, baik itu siang atau malam. Sampai pada saat senja, ketika anak Prabu Jaka Pitana membuat pesanggrahan untuk bermalam di tepi Bengawan Swilugangga, ia melihat sesuatu bayangan yang tidak mudah terlihat, tetapi dapat diduga itulah yang melarikan Putri Paduka Prabu Salya. Kenapa dapat dipastikan, karena disitu juga terdengar tangis seorang wanita. Dan dari situlah patut diduga, bahwa putri paduka Dyah Erawati telah dilarikan kedalam Bengawan Swilugangga oleh mahluk tersebut.”  Berhenti sebentar Patih Sengkuni, kemudian masih dengan khidmat ia meneruskan ceritanya

“Oleh sebab itu, anak Prabu Jakapitana telah bersumpah, tidak akan kembali ke Negara Astina bila tidak dapat pulang bersamaan dengan putri paduka Dewi Erawati. Demikian yang dapat hamba ceritakan, sinuhun”.

Sejenak sang Prabu Salya menghela nafas panjang. Cerita Patih Sangkuni makin tentang keberadaan Herawati bukannya menjadikan sang Prabu berlega hati, tetapi malah menambah gundah isi hati Sang Prabu.

Sejenak kemudian, berkata Prabu Salya kepada Patih Sangkuni. “Heh Patih Sangkuni, setelah kamu menceritakan hal yang terjadi, seketika jantungku menjadi berdebaran. Bila hal itu nyata, mulai kapan lagi Kurawa akan memulai kembali melakukan pencarian didalam Bengawan Swilugangga?

“Walau tidak diperintah, siang dan malam tak bakal berhenti pencarian itu. Akan berasa malu besar apabila Prabu Jaka Pitana tidak kembali membawa putri Paduka, pulang ke Mandaraka.”

“Sukurlah bila demikian. Kecuali aku menyetujui usaha para Kurawa, aku juga akan memberikan bantuan apapun yang para Kurawa butuhkan”. Prabu Salya mencoba menawarkan bantuan untuk memperlancar usaha para Kurawa.

“Hanya pangestu dari Paduka Sinuwun Mandaraka yang hendaknya menjadi obor bagi gelapnya jalan kami.” Namun Sangkuni dengan halus menolak

“Bagus!! Kapan kamu mau kembali?”

“Sekarang juga kami akan kembali menghadap putra Prabu Jakapitana, supaya tidak menjadi pertanyaan bagi Prabu Jaka Pitana dan hamba akan segera menceritakan apa yang terjadi disini.”

Demikianlah, Patih Sengkuni segera lengser dari hadapan Prabu Salya. Gembira hati Sangkuni setelah melakukan tugas kemenakannya dan diberikan restu oleh Prabu Salya. Maka segera ia meloncat ke punggung kudanya dan sekali lecut kuda telah berlari kencang meninggalkan Mandaraka dengan debu putih yang beterbangan
Diceritakan setelah Patih Sengkuni pergi dari balairung, kesepian balairung kembali mencekam. Tetapi suasana itu tidak berlangsung lama. Diluar kembali terjadi kehebohan. Banyak yang hadir bersuara ramai, terlihat seorang pemuda datang hendak minta ijin menghadap Prabu Salya. Pemuda tampan yang terlihat bagaikan sosok Dewata
Siapakah yang datang itu? Demikian pertanyaan dari banyak hadirin yang memenuhi didalam dan diluar sidang. Dialah anak Prabu Pandu, raja Astina dahulu. Dia adalah anak penengah dari lima bersaudara anak Prabu Pandu, atau biasa disebut Pandawa. Anak penengah Pandawa itulah yang bernama Pamade atau Pamadi. Nama lainnnya adalah Permadi, Arjuna, Kuntadi, Parta Panduputra dan banyak lagi nama dan jejuluknya.

Satria yang sangat tampan tanpa cacat secuilpun. Dengan aura yang memancar dari seluruh sosoknya yang berperawakan sedang tetapi tegap. Kulitnya bening bercahaya bagai emas yang baru saja disepuh.
Walaupun mengenakan busana yang serba sederhana, tetapi hal itu malah semakin membuat seluruh sosoknya menjadi makin menonjol.

Ketika ia menaiki pendapa balairung istana, semua mata tertuju kepada sosok yang bagaikan dewa yang turun dari kahyangan. Apalagi para wanita, berdebaran jantung mereka melihat ketampanannya. Mereka saling colek satu sama lain. Beberapa diantaranya melemparkan kerlingan sambil tersenyum merayu. Ada yang melambaikan tangan dari jauh bahkan melemparkan kuntum bunga. Yang tidak sabar bahkan tidak ingat bahwa dia ada dalam sidang agung, walau masih duduk tapi dipanjangkan lehernya berusaha  untuk melihat dengan jelas siapakah pemuda tampan yang menghadap rajanya.

Bahkan seorang wanita yang sedang hamil mengelus dan menggebuk pelan perutnya. Dalam hatinya ia berkata: “Ooh anakku, semoga bila kamu lahir lelaki, dewa berkenan menjadikan kamu tampan seperti pemuda yang baru naik menghadap Gusti Prabu Salya itu!”

Yang lain bahkan ada juga menyembah sang tampan dikira ia adalah dewa yang sedang turun ke dunia. Tetapi Pamadi tidak menghiraukannya dan terus melaju menuju tempat Prabu Salya yang tengah duduk di kursi Gading dengan hiasan emasnya.

Demikianlah. Ternyata Raden Pamadi juga telah mendengar kabar bahwa putri pertama Sang Prabu, Dewi Herawati telah hilang dari kamarnya. Ia naik ke hadapan Prabu Salya hanya didampingi oleh pemomongnya Kyai Lurah Semar Badranaya, atau disebut juga bernama Duda Manang-Munung, Wong Boga Sampir atau juga disebut Jurudyah Kunta Prasanta.

Seketika Prabu Salya seakan tersihir. Dengan mulut ternganga dengan mata yang tanpa berkedip, ia melihat kedatangan pemuda tampan iitu. Walau dalam keadaan yang sangat sedih dan terpukul oleh kehilangan anak perempuannya itu, tetapi kedatangan pemuda  ini dapat dikatakan telah menjadikannya ia lupa dengan rasa sedih yang sedang mendera.

Setelah tersadar dengan geragapan ia berkata ;”Oooh . . . aku kejap-kejapkan mata ini berkali kali, tetepi ternyata makin tegas. Kalau tidak salah dihadapanku ini, pamongku dahulu, kakang Semar . . . . ?

Betul sinuwun, saya Semar Badranaya.” Demikian jawab Semar.

“Oooh kakang, tidak mengira aku bisa ketemu lagi. . . .!”

“He he he saya juga sampai sekarang masih ada . . . .” Terkekeh Semar menjawab

“Selamat atas kedatanganmu kakang. . . ?“

“Ya selamat tanpa aral melintang. Baktiku kepada andika sinuhun.”

“Semar . . . .  , pemuda tampan ini siapa?”

“Mohon diperkenankan hamba bercerita dulu. Waktu itu. Sewaktu menjalani sayembara pilih di Negara mandura paduka mungkin masih ingat. Paduka berperang tanding dengan Prabu Pandu Dewanata, setelah andika terpilih pada sayembara pilih itu. Pada waktu itu Prabu Pandu yang datang belakangan ditantang oleh andika, yang kemudian menang atas paduka dan memboyong Dewi Kunti ditambah dengan adik Paduka Dewi Madrim. “ 

Nyerocos Semar mulai bercerita dengan pertanyaan.

Iya kakang, aku masih ingat . .

“Lalu putri dari Plasa Jenar putra dari Prabu Suwela yaitu Prabu Gendara yang bernama dewi Gendari. Dipasrahkan oleh Sangkuni yang kalah ketika hendak merebut kedua putri boyongan Kunti dan Madrim. Setelah dibawa ke Astina, ketiga putri tersebut diberikan semua kepada Ayahnya, Prabu Abiyasa. Sebab Prabu Pandu masih memangku adat dan naluri yang kuat. Tidak baik namanya apabila berani menikah dan melompati yang lebih tua. Setelah itu, Prabu Abiyasa memanggil putra pertamanya, Drestarastra, disuruh memilih diantara ketiganya. Cara memilih yang unik dari Drestarastra ketiga wanita itu dipegang tapak tangan putri-putri itu satu persatu dimulai dari Dewi Madrim, dirabanya. Raden Drestarastra akhirnya mengatakan ia tidak suka kepada Dewi Madrim, yang menurutnya hanya akan berputra dua. Seketika saking girangnya hati Dewi madrim, ia tertawa berkepanjangan. Ia merasa bahagia tidak terpilih. Waktu itu Kunthi juga diperlakukan sama, kemudian ditolaknya Kunthi karena hanya akan berputra tiga.”

Dewi Gendari dipegang tangannya, kemudian mengkipatkan tangan Drestarastra tetapi dipegangnya kembali tangan Gendari dengan paksa, karena Gendari selalu meronta. Tetapi akhirnya setelah perjuangan panjang menahan krodat Gendari yang selalu meronta, terpilihlah Gendari, karena dinyatakan Gendari bakal melahirkan anak sejumlah seratus.

Demikianlah seperti yang sinuwun sudah tahu, Prabu Pandu yang kemudian bertahta menjadi raja Astina, mempunyai tiga orang putra dari Kunti, bernama Puntadewa yang pertama, kemudian yang kedua bernama Bratasena dan yang ketiga bernama Permadi. Sedangkan dari adik paduka Madrim, Prabu Pandu berputra dua kembar, bernama Nakula dan Sadewa”. Sejenak Semar berhenti bercerita seolah berteka-teki. Namun kemudian ia melanjutkan.

“Dan inilah putra Pandu yang ketiga dari Kunti, yang bernama Pamadi.”

Seketika kaget bercampur gembira Prabu Salya ketika mendengar akhir cerita Semar. Turun dari kursi kebesaran dan dirangkulnya kemenakannya itu. Sebentar sebentar diciuminya, sebentar sebentar dielus rambutnya. Bila tidak merasa malu terlihat oleh yang hadir, maka akan berteriaklah prabu Salya sekuatnya melepas rasa gembira yang tidak terkira. Dalam hatinya ia merasa tidaklah berangkulan dengan Pamadi, tetapi ia sedang berrangkulan dengan adik iparnya Prabu Pandu. Haru-biru melingkup suasana sidang kala itu. Maka setelah berapa lama berangkulan, dilepaskannya bahu Pamadi dibimbingnya ia ia lebih mendekat dan berkata.

“Pamadi, kemarilah mendekat kepada uwakmu.”  Setelah kembali suasana tertata, dengan sabar Prabu Salya kembali berkata.

“Sampai sampai hampir aku tak dapat menahan keluarnya air mataku ketika aku tahu siapa kamu, anakku. Ternyata tak ada bedanya antara kamu dengan ayahmu dulu. Lima anak Pandu hanya kamu yang mirip ayahmu. Sama-sama tampan, tetapi ayahmu agak tengeng. Sementara kamu bagusmu tanpa cacat. Selamat atas kedatanganmu Pamadi.”

“Doa puji paduka, tiada halangan sehingga putra paduka dapat sampai di Negara Mandaraka. Bakti putranda semoga diterima, Sinuwun Mandaraka.” Jawab Pamade sambil bersembah kagok.

“Nanti dulu. Jangan kamu sebut aku Sinuwun. Kalau dilihat dari silsilah, aku kepada ramamu seharusnya menyebut kakak. Tetapi oleh kerena ayahmu memperistri adikku , Madrim, maka aku disebut lebih tua. Lah kamu dapat menyebutku uwa Prabu, begitu.

Demikianlah sidang menjadi agak cair dari kebekuan oleh peristiwa yang tidak disangka sangka. Demikian juga dikenalkannya putra pangeran pati Mandaraka, Rukmarata. Dilarahkannya semua tata keluarga antara Pamadi dan Rukmarata sehingga jelas silsilah antara kedua pihak.

Namun demikian masih ada lagi cerita dari Semar yang hendak disampaikan kepada Prabu Salya. Setelah mendapat ijin dari Prabu Salya, Semar kembali menyambung cerita tentang para satria yang diemongnya.

“Cerita ini dimulai ketika ada peristiwa Balai Sigala-gala. Pendawa dan Kurawa dipanggil oleh Adipati Drestarastra yang ketika itu menggantikan sementara tahta Pandu yang telah wafat. Pemanggilan kedua pihak Pendawa, anak Pandu, dan Kurawa, anak Drestarastra itu, adalah berkaitan dengan dibaginya warisan Pandu.

Oleh kecurangan Kurawa, Para Pandawa dinyatakan terbakar didalam bale penginapan yang dinamakan Bale Si Gala-Gala, termasuk ibundanya, Kunti.

Namun sebenarnya tidak. Mereka terselamatkan oleh binatang yang berjenis garangan. Binatang itu membuat liang panjang yang masuk ke kawasan Sapta Pratala. Disanalah Bratasena diambil menjadi menantu oleh penguasa Sapta Pratala Sang Hyang Anantaboga. Wanita putra Anantaboga yang diperistri Bratasane alias Wrekudara itulah yang bernama Nagagini.

Setelah sekian lama tinggal di Sapta Pratala, Pandawa segera melanjutkan perjalanan hingga tiba di desa Karangasem. Disanalah Pandawa menginap di rumah Kaki Wijrapa.

Keesokan harinya, Bratasena diadu dengan penguasa Ekacakra yang berujud raksasa bernama Prabu Baka. Bratasana menang menebus nyawa orang senegara, karena Prabu Baka adalah pemakan rakyatnya.

Sekian lama tinggal di Ekacakra, Pamadi mengajak saya pergi, sekian lama setelah kami pergi, Kunti menangisi kepergian Permadi hingga Bratasena tidak sabar lagi dan pergi mencari adiknya itu. Setelah dicari sekian lama, ketemu ia di Negara Mandura. Ketika itu ia sedang menonton adu manusia antara Sura Tri Mantra, patih dari kadipaten Sengkapura anak haram dewi Maerah. Sedangkan Maerah adalah istri Prabu Basudewa. Ketika itu Bratasena diminta menandingi jago dari Sengkapura dan Bratasena menjadi jago Mandura. Sedangkan yang menjadi taruhan adalah Negara Mandura itu sendiri. Bratasena menang. Kangsa mati beserta Sura Tri Mantra. Dari situlah prabu Basudewa mengerti bahwa Bratasena dan Pamadi adalah kulit daging sendiri. Karana Kunti ibu Pendawa adalah adik Basudewa.

Malah, Pamadi hendak dijodohkan dengan putri Basudewa yang bernama Bratajaya atau Sumbadra. Sedangkan Bratasena mendapatkan gada kepunyaan Sura Tri Mantra yang bernama Gada Rujak Polo”.Prabu Salya membiarkan Semar menuturkan ceritanya hingga selesai. Sebenarnyalah, memang Salya ingin sekali mengetahui riwayat dari kemenakan-kemenakan dan adik iparnya Kunti, yang sudah sekian lama dikabarkan telah sirna.

>

“Kembali ke peristiwa sekarang, momonganku membaca selebaran yang andika buat.”  Kata Semar menjelaskan kenapa ia sampai di Mandaraka.

Sejenak Prabu Salya berpikir keras, bagaimana cara agar Pamade tidak ikut-ikutan mencari Herawati. Dalam hatinya terbersit suatu pemikiran, bagaimana agar salah satu anaknya dapat diperistri oleh Pamade tanpa harus mengorbankan kemenakannya itu. Maka ketika sepercik akal terbersit, berkata Prabu Salya kepada Pamade
“Pamadi, kalau kamu hendak beristri, kamu tidak usah ikut-ikutan mencari kakakmu Herawati. Aku masih mempunyai dua orang putri lagi. Yang hilang ya sudahlah biar orang lain saja yang mencari, kamu tinggal memilih putriku yang lain. Pilih satu diantaranya. Yang satu nama Surtikanti sedangkan satunya nama Banuwati. Walau Herawati hilang, tetapi bila nanti kamu menjadi menantuku, serasa dalam hati ini, Herawati telah pulang kembali.”

“Uwa Prabu apakah tidak menjadi nista bila satria yang sudah mempunyai niat dan kemauan menemukan kanda Herawati yang kemudian kemauan itu terhenti hanya karena menerima ganjaran berujud wanita. Dipandang dari darma kesatria tidaklah elok. Mohon maaf Uwa Prabu, kami memaksa untuk menetapkan ujud dari kewajiban sebagai satria, hamba tetap hendak mencari dimana adanya kanda Herawati, hingga tetes darah hamba yang terakhir”.

Walau sudah diduga sebelumnya, bahwa Pamadi akan menolak. Sebab ia teringat dengan sifat ayah Pamadi yang juga mempunyai watak yang demikian. Tetapi tak urung Salya sempat kaget juga. Maka katanya, “Jagat dewa batara, sukurlah bila nanti ketemu. Jangan lama lama ada di Mandaraka, segeralah memperingan kesusahan yang menimpaku, anakku”

“Mohon puji doa dari Uwa Prabu.”  Pamadi segera menghaturkan sembah yang kemudian lengser turun dari balai agung.

Salya memberikan doa puji untuk kepergian Pamadi. Namun itu hanya terucap di mulut saja. Pada kenyataannya ia berat melepas Pamadi yang hendak menempuh bahaya. Dalam hati ia mempunyai rencana lain, bagaimana ia harus menahan kepergiannya. Caranya adalah menghadirkan kedua putrinya dihadapan Pamade. Dan dari rencana Salya ini, cinta kedua insan, Arjuna dan Banuwati bersemi.




LihatTutupKomentar